Rabu, 05 Oktober 2016

TERNYATA (Cerpen)



Oleh : Abitri Negoro Hermanto

Aku Denis, anak yang selalu dianggap seseorang paling beruntung, memiliki kedua orang yang sangat mencintaiku, merawatku dengan kasih, mendidikku dengan sabar, dan selalu ada di saat aku tengah bahagia maupun berduka. Mama dan Papa. Dua orang yang selalu mendukungku dan selalu membimbing segala kebaikan yang pantas untuk kulakukan, sehingga menjadikanku pribadi yang baik, berprestasi dan disenangi orang di luar sana. Banyak sekali yang senang menyanjungku dan ingin berdekatan denganku. 

Mama dan Papa selalu menjadi inspirasi bagiku dalam hal cinta, mereka begitu saling mencintai sehingga selalu terpikir dalam benak jika di masa depan aku harus mencintai pasanganku sedalam Papa yang mencintai Mama disetiap detik kebersamaannya, walau baru menginjak 12 tahun, pikiran tentang percintaan masa depanku sudah terancang sedemikian rupa, agar kebahagian dalam keluargaku kelak akan sebahagia keluargaku kini.


Sering terdengar cerita indah yang terucap oleh kakak dari Papa, yaitu Bibi Urel. Bibi yang sangat aku sayangi itu selalu bercerita tentang kisah muda Papa dan Mama yang menjalin kasih dengan bahagia, di mana mereka selalu berjuang bersama melawan ketidak nyamanan satu sama lain karena pada kenyataanya mereka memiliki sifat yang amat sangat berbeda saat itu, Papa dengan keegoisannya, selalu memiliki ambisi kuat untuk menjadikan Mama sebagai miliknya dan Mama selalu menolak ambisi Papa yang menurutnya sangat tidak masuk akal karena pada saat itu Papa menyatakan perasaannya dengan suatu alasan yang membuatku selalu terpingkal tertawa jika mendengarnya. Saat itu Papa sering menangkap basah Mama yang sedang mangkir dari jam pelajaran matematika, kata Papa ia harus menikahi Mama agar ia dapat mengajarkan matematika kepada Mama dan tidak lagi mangkir jika jam pelajaran matematika. Mama memang sangat lemah terhadap matematika berbeda sekali dengan Papa yang kini adalah guru besar matematika di sebuah universitas, tetapi jangan terlalu meremehkan Mama karena ia sangat pandai dalam berbagai bahasa, buktinya kini Mama adalah penerjemah novel – novel luar di salah satu penerbit di negeri ini.

Aku selalu senang jika Bibi Urel sudah bercerita tentang kehidupan kedua orang tuaku di masa lalu, merasa sangat bahagia bila mengingat diri ini lahir dari kedua orang tua yang sangat hebat, dapat menjadikanku anak tidak biasa dengan segala kelebihan yang kumiliki. Bukannya diriku sombong dan tinggi hati terhadap segala kehebatan ini, tetapi memang benar adanya, haha.

***

Pagi ini Mama seperti biasa terlihat sangat tangkas dalam mengurusiku dan Papa yang siap untuk berangkat memulai hari di luar sana, walau Mama juga memiliki pekerjaan ia selalu memberikan waktu penuhnya di pagi hari untuk aku dan Papa. Tidak hanya aku dan Papa saja yang disediakan sarapan setiap paginya, tetapi Paman Arie tetangga sebelah kiriku dan Bibi Sofa tetangga sebelah kananku juga Mama siapkan sarapannya. Mamaku memang seorang yang sangat baik hati, ia selalu berkata kalau kita harus saling berbagi terutama kepada orang – orang di sekeliling kita.

Paman Arie adalah paman yang baik, ia hanya tinggal bersama satu anak perempuannya yang berumur satu tahun lebih tua denganku. Aku selalu beranggapan Paman Arie adalah seorang yang sangat hebat di mana ia harus merawat Kak Hana (anaknya) seorang diri, setiap kutanya kepada Mama kemana Ibunya Kak Hana, selalu dibalas dengan cepat oleh Mama jika Paman Arie adalah orang tua tunggal, padahal aku selalu berfikir Kak Hana sangat mirip dengan Mama, dan aku selalu meminta Mama untuk mengadopsi Kak Hana, tetapi selalu ditolak olehnya, dengan alasan ia sangat menyayangiku, seketika senyumanku tak pernah meredam setelah mendengar jawabannya itu.

Tetangga sebelah kananku adalah Bibi Sofa yang sangat murah senyum dan baik sekali kepadaku, ia sering membawakan mainan baru untukku jika baru pulang bertugas di luar kota. Bibi Sofa adalah seorang jurnalis, tak jarang ia keluar kota untuk mencari berita yang akan diterbitkan di koran maupun acara berita di televisi. Bibi Sofa juga tinggal sendiri, kata Papa dia memang belum menikah karena fokus dengan karirnya, padahal ia sangatlah cantik dan aku sering menggoda Papa untuk menikahinya, walau selalu berakhir satu jitakan  untuk kepalaku setelah aku mengakatan itu kepada Papa.

Kembali pada aktivitasku di pagi ini. Setiap harinya aku selalu berangkat bersama Papa mennggunakan mobil kebanggaannya. Aku sekolah di sebuah yayasan yang memiliki jadwal sangat padat, dari pagi hingga malam karena aku tidak hanya belajar mata pelajaran umum tetapi ada pula pembinaan karakter yang diberikan terhadap seluruh muridnya, jadi bisa dikatakan jika aku melakukan hampir seluruh kegiatanku di sekolah, dan hanya pada malam hari hingga keesokan paginya aku di rumah. Aku sering bertanya mengapa Mama dan Papa tidak ada niatan memindahkanku ke sekolah yang lebih singkat jam belajarnya, setiap aku bertanya seperti itu Papa selalu menjawab,

“Akan lebih baik untukku jika kamu sekolah di sini, karena Papa tidak harus melihat anak bandel Papa ini di rumah, hahaha.” ucapnya dengan nada bercanda. Walau jawabannya agak mengesalkan bagiku, tetapi aku tahu Papa hanya bercanda dan ia ingin anaknya ini mendapatkan yang terbaik dalam hal pendidikannya. 

***

Hari ini kelasku mengadakan ujian mendadak yang tidak diketahui oleh aku dan murid lainnya, sempat khawatir melandaku saat ujian tadi, karena mata pelajaran yang diujikan adalah matematika dan bahasa, dua mata pelajaran kesukaanku dan dilarang sekali bagiku untuk mendapatkan nilai buruk. Tetapi aku memang patut merasa berbangga diri karena walau tanpa belajar sebelumnya aku tetap mendapat nilai sempurna pada dua ujian mendadakku ini. Aku akan memberitahu Papa dan Mama, pastilah mereka semakin bangga kepadaku jika mengetahuinya. 

Aku pulang sendiri kali ini, karena ujian menadadak hari ini guru kelasku mengizinkan muridnya untuk pulang lebih cepat dari jadwal biasanya, karena aku tidak mungkin menunggu sampai Papa menjemputkan di sore hari nanti kuputuskan saja untuk pulang seorang diri walau aku sempat dilanda rasa takut karena aku tidak pernah menggunakan angkutan umum sebelumnya, tetapi ketakutan itu bisa kuatasi dengan baik karena aku sudah tidak sabar membawa kabar baik untuk Papa dan Mama.

Sedikit lagi aku dekat dengan rumah sontak saja diri ini bergetar kaku, senyuman di wajahpun tenggelam seperti matahari yang selalu menyembunyikan dirinya di sore hari. Aku tidak bisa berkata dan bahkan melangkahkan kaki ini untuk lebih dekat dan bertanya selantang mungkin kepada kedua orang yang selama ini aku cintai dan aku banggakan.

Berkerut dahi ini saat aku melihat Papa merangkul mesra Bibi Sofa di depan rumahnya dan bersenda gurau seperti sepasang kekasih yang dimadu asmara dan berkaca-kaca kedua mata ini saat aku melihat Paman Arie tengah mengelus lembut surai panjang rambut Mama sambil berbincang akrab dengan Kak Hana dan penuh pancaran rasa sayang dari setiap tatapannya.

Tidak tahu apa maksud dari semua ini, yang aku lihat sekarang adalah kedua orang tuaku yang tengah berbahagia tetapi dalam keadaan yang berbeda, bukan kebahagian di antara Papa dan Mama tetapi pancaran kebahagiaan yang lahir dari dua keluarga yang berbeda, seolah mereka adalah dua keluarga yang bertetangga dan memiliki kisah cinta berbeda dalam dua atap yang berbeda, sedangkan selama ini aku tahu adalah kedua orang yang kulihat di depan mataku itu adalah kedua orang tuaku yang selama ini merawatku dengan kasih dan cintanya.

Sampai pada akhirnya pandangan kepedihan ini dibalas oleh Papa yang langsung melepaskan rangkulan mesranya dan menghampiriku dengan tergesa. Tetapi semua itu terlalu terlambat bagiku, aku seperti sudah memutar otakku untuk mengerti apa yang aku alami selama ini dengan sekali melihat mereka seperti itu di hadapanku. Aku hanya bisa membalas tatapan mata Papa sarat dengan kepedihan dalam sesuai dengan hati ini yang tercabik hancur dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap kedua orang yang selama ini aku banggakan dan aku berikan seluruh cinta ini kepada mereka.

Mama juga mendekat kepadaku dan aku tidak tahu sejak kapan tangisan rasa bersalah dan pilu itu terdengar oleh pendengaranku. Seolah itu pertanda jika apa yang aku pikirkan sekarang adalah sebuah hal benar adanya dan tak dapat dibantah oleh kata – kata manis sekalipun.

“Maafkan Papa, Denis.” Lirih, sangat lirih terdengar olehku, tetapi apa mereka tahu aku lebih lirih lagi sampai tak ada kata yang dapat kuucap seakan energi dalam tubuh ini habis dan tiak cukup untuk membuka sedikir bibir untuk membalas.

“Boleh Mama peluk Denis?” tanyanya dengan nada ragu dan tangisannya masih terdengar pilu. Aku hanya sesekali memandanganya dan teralihkan kepada Paman Arie bersama Kak Hana. Lagi – lagi aku tidak membalas dan tidak begerak sedikitpun, tidak melakuakan perlawanan atau mengiyakan pada setiap ucapan kedua orang di hadapanku ini.

“Apakah selama ini aku sendiri?” dengan seluruh kekuatan yang tersisa kuucapkan sedikit kalimat yang semakin memperjelas kondisiku selama ini. Berapa tahun? Apakah sejak aku terlahir di dunia ini aku sudah sendiri dan kebersamaan yang kubanggakan selama ini adalah hanya hayalan sepihakku?

“Papa bisa jelaskan, belum lama, Den. Baru tiga tahun,”
Entah energi mana lagi yang menghampiriku sehingga senyuman bisa terbit di wajah ini, walau senyuman pilu penuh kesakitan yang tercetak jelas.

“Tiga tahun bukan waktu yang singkat ternyata, sampai aku tidak pernah sadar akan semua 
kebohongan ini?” Apa aku terlalu cerdas dalam menghadapi masalah ini, bukankah seharusnya kini aku meraung – raung menangis di depan mereka sebagai tanda penjelas jika hati ini sakit, jiwa ini hancur dan jika mereka lupa aku adalah anak berusia 12 tahun yang sudah merasakan hal sepilu ini, terbilang masih sangat muda? Tidak bahkan aku ini masih anak kecil.

“Apakah Kak Hana adalah anak kandungmu?” tanyaku kepada wanita yang masih saja menangis di sampingku. Dia tidak bersuara hanya menganggukkan kepalanya bertanda memang benar adanya. Apakah definisi anak kecil mudah dibohongi itu kualami selama ini? Ternyata aku tidak sepintar itu, yang memang sudah menyadari Kak Hana mirip dengan Mama dan Bibi Sofa yang terlihat sangat akrab dan cocok dengan Papa.

“Tidak perlu dijelaskan, Ma, Pa. Aku tahu apa yang kalian lakukan selama ini adalah hal terbaik untukku, jika tidak seperti ini mungkin aku bukan diriku yang sekarang. Tetap berpandangan positif dan bahkan aku masih sangat mencintai Mama dan Papa sampai saat ini, walau pada kenyataanya selama ini aku hidup sendiri.”

Walau hati ini tercabik hancur saat mengetahu kebenaran yang selama ini ditutupi dengan rapih di hadapanku, aku tetap bangga dengan Mama dan Papa, menyembunyikan kondisi perceraian mereka selama tiga tahun ini hanya untuk menjagaku dan melindungiku, bukankah itu hal yang sulit dilakukan. Dan teruntuk Paman Arie begitu juga Bibi Sofa yang mungkin selama ini sudah berkorban sebesar ini hanya untukku? Hal ini memang membuatku menajadi pribadi yang dewasa, walau cobaan seberat ini sudah kualami dengan umur sedini ini. Aku sadar permaslaahan keluarga memang dapat mendewasakan pribadi seseorang.

TAMAT
Kamis, 06 Oktober 2016
Di Yayasan Indonesia Tangguh
Abitri Negoro Hermanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar