Oleh : Abitri
Negoro Hermanto
Aku Denis, anak yang selalu dianggap seseorang paling
beruntung, memiliki kedua orang yang sangat mencintaiku, merawatku dengan
kasih, mendidikku dengan sabar, dan selalu ada di saat aku tengah bahagia
maupun berduka. Mama dan Papa. Dua orang yang selalu mendukungku dan selalu
membimbing segala kebaikan yang pantas untuk kulakukan, sehingga menjadikanku
pribadi yang baik, berprestasi dan disenangi orang di luar sana. Banyak sekali
yang senang menyanjungku dan ingin berdekatan denganku.
Mama dan Papa selalu menjadi inspirasi bagiku dalam
hal cinta, mereka begitu saling mencintai sehingga selalu terpikir dalam benak
jika di masa depan aku harus mencintai pasanganku sedalam Papa yang mencintai
Mama disetiap detik kebersamaannya, walau baru menginjak 12 tahun, pikiran
tentang percintaan masa depanku sudah terancang sedemikian rupa, agar kebahagian
dalam keluargaku kelak akan sebahagia keluargaku kini.
Sering terdengar cerita indah yang terucap oleh kakak dari Papa, yaitu Bibi Urel. Bibi yang sangat aku sayangi itu selalu bercerita tentang kisah muda Papa dan Mama yang menjalin kasih dengan bahagia, di mana mereka selalu berjuang bersama melawan ketidak nyamanan satu sama lain karena pada kenyataanya mereka memiliki sifat yang amat sangat berbeda saat itu, Papa dengan keegoisannya, selalu memiliki ambisi kuat untuk menjadikan Mama sebagai miliknya dan Mama selalu menolak ambisi Papa yang menurutnya sangat tidak masuk akal karena pada saat itu Papa menyatakan perasaannya dengan suatu alasan yang membuatku selalu terpingkal tertawa jika mendengarnya. Saat itu Papa sering menangkap basah Mama yang sedang mangkir dari jam pelajaran matematika, kata Papa ia harus menikahi Mama agar ia dapat mengajarkan matematika kepada Mama dan tidak lagi mangkir jika jam pelajaran matematika. Mama memang sangat lemah terhadap matematika berbeda sekali dengan Papa yang kini adalah guru besar matematika di sebuah universitas, tetapi jangan terlalu meremehkan Mama karena ia sangat pandai dalam berbagai bahasa, buktinya kini Mama adalah penerjemah novel – novel luar di salah satu penerbit di negeri ini.
Aku selalu senang jika Bibi Urel sudah bercerita
tentang kehidupan kedua orang tuaku di masa lalu, merasa sangat bahagia bila
mengingat diri ini lahir dari kedua orang tua yang sangat hebat, dapat
menjadikanku anak tidak biasa dengan segala kelebihan yang kumiliki. Bukannya
diriku sombong dan tinggi hati terhadap segala kehebatan ini, tetapi memang
benar adanya, haha.
***
Pagi ini Mama seperti biasa terlihat sangat tangkas
dalam mengurusiku dan Papa yang siap untuk berangkat memulai hari di luar sana,
walau Mama juga memiliki pekerjaan ia selalu memberikan waktu penuhnya di pagi
hari untuk aku dan Papa. Tidak hanya aku dan Papa saja yang disediakan sarapan
setiap paginya, tetapi Paman Arie tetangga sebelah kiriku dan Bibi Sofa
tetangga sebelah kananku juga Mama siapkan sarapannya. Mamaku memang seorang
yang sangat baik hati, ia selalu berkata kalau kita harus saling berbagi terutama
kepada orang – orang di sekeliling kita.
Paman Arie adalah paman yang baik, ia hanya tinggal
bersama satu anak perempuannya yang berumur satu tahun lebih tua denganku. Aku
selalu beranggapan Paman Arie adalah seorang yang sangat hebat di mana ia harus
merawat Kak Hana (anaknya) seorang diri, setiap kutanya kepada Mama kemana
Ibunya Kak Hana, selalu dibalas dengan cepat oleh Mama jika Paman Arie adalah
orang tua tunggal, padahal aku selalu berfikir Kak Hana sangat mirip dengan
Mama, dan aku selalu meminta Mama untuk mengadopsi Kak Hana, tetapi selalu ditolak
olehnya, dengan alasan ia sangat menyayangiku, seketika senyumanku tak pernah
meredam setelah mendengar jawabannya itu.
Tetangga sebelah kananku adalah Bibi Sofa yang sangat
murah senyum dan baik sekali kepadaku, ia sering membawakan mainan baru untukku
jika baru pulang bertugas di luar kota. Bibi Sofa adalah seorang jurnalis, tak
jarang ia keluar kota untuk mencari berita yang akan diterbitkan di koran
maupun acara berita di televisi. Bibi Sofa juga tinggal sendiri, kata Papa dia
memang belum menikah karena fokus dengan karirnya, padahal ia sangatlah cantik
dan aku sering menggoda Papa untuk menikahinya, walau selalu berakhir satu
jitakan untuk kepalaku setelah aku
mengakatan itu kepada Papa.
Kembali pada aktivitasku di pagi ini. Setiap harinya
aku selalu berangkat bersama Papa mennggunakan mobil kebanggaannya. Aku sekolah
di sebuah yayasan yang memiliki jadwal sangat padat, dari pagi hingga malam
karena aku tidak hanya belajar mata pelajaran umum tetapi ada pula pembinaan
karakter yang diberikan terhadap seluruh muridnya, jadi bisa dikatakan jika aku
melakukan hampir seluruh kegiatanku di sekolah, dan hanya pada malam hari
hingga keesokan paginya aku di rumah. Aku sering bertanya mengapa Mama dan Papa
tidak ada niatan memindahkanku ke sekolah yang lebih singkat jam belajarnya,
setiap aku bertanya seperti itu Papa selalu menjawab,
“Akan lebih baik untukku jika kamu sekolah di sini,
karena Papa tidak harus melihat anak bandel Papa ini di rumah, hahaha.” ucapnya
dengan nada bercanda. Walau jawabannya agak mengesalkan bagiku, tetapi aku tahu
Papa hanya bercanda dan ia ingin anaknya ini mendapatkan yang terbaik dalam hal
pendidikannya.
***
Hari ini kelasku mengadakan ujian mendadak yang tidak
diketahui oleh aku dan murid lainnya, sempat khawatir melandaku saat ujian
tadi, karena mata pelajaran yang diujikan adalah matematika dan bahasa, dua
mata pelajaran kesukaanku dan dilarang sekali bagiku untuk mendapatkan nilai
buruk. Tetapi aku memang patut merasa berbangga diri karena walau tanpa belajar
sebelumnya aku tetap mendapat nilai sempurna pada dua ujian mendadakku ini. Aku
akan memberitahu Papa dan Mama, pastilah mereka semakin bangga kepadaku jika
mengetahuinya.
Aku pulang sendiri kali ini, karena ujian menadadak
hari ini guru kelasku mengizinkan muridnya untuk pulang lebih cepat dari jadwal
biasanya, karena aku tidak mungkin menunggu sampai Papa menjemputkan di sore
hari nanti kuputuskan saja untuk pulang seorang diri walau aku sempat dilanda
rasa takut karena aku tidak pernah menggunakan angkutan umum sebelumnya, tetapi
ketakutan itu bisa kuatasi dengan baik karena aku sudah tidak sabar membawa
kabar baik untuk Papa dan Mama.
Sedikit lagi aku dekat dengan rumah sontak saja diri
ini bergetar kaku, senyuman di wajahpun tenggelam seperti matahari yang selalu
menyembunyikan dirinya di sore hari. Aku tidak bisa berkata dan bahkan
melangkahkan kaki ini untuk lebih dekat dan bertanya selantang mungkin kepada
kedua orang yang selama ini aku cintai dan aku banggakan.
Berkerut dahi ini saat aku melihat Papa merangkul
mesra Bibi Sofa di depan rumahnya dan bersenda gurau seperti sepasang kekasih
yang dimadu asmara dan berkaca-kaca kedua mata ini saat aku melihat Paman Arie
tengah mengelus lembut surai panjang rambut Mama sambil berbincang akrab dengan
Kak Hana dan penuh pancaran rasa sayang dari setiap tatapannya.
Tidak tahu apa maksud dari semua ini, yang aku lihat
sekarang adalah kedua orang tuaku yang tengah berbahagia tetapi dalam keadaan
yang berbeda, bukan kebahagian di antara Papa dan Mama tetapi pancaran
kebahagiaan yang lahir dari dua keluarga yang berbeda, seolah mereka adalah dua
keluarga yang bertetangga dan memiliki kisah cinta berbeda dalam dua atap yang
berbeda, sedangkan selama ini aku tahu adalah kedua orang yang kulihat di depan
mataku itu adalah kedua orang tuaku yang selama ini merawatku dengan kasih dan
cintanya.
Sampai pada akhirnya pandangan kepedihan ini dibalas
oleh Papa yang langsung melepaskan rangkulan mesranya dan menghampiriku dengan
tergesa. Tetapi semua itu terlalu terlambat bagiku, aku seperti sudah memutar
otakku untuk mengerti apa yang aku alami selama ini dengan sekali melihat
mereka seperti itu di hadapanku. Aku hanya bisa membalas tatapan mata Papa
sarat dengan kepedihan dalam sesuai dengan hati ini yang tercabik hancur dan
aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap kedua orang yang selama ini
aku banggakan dan aku berikan seluruh cinta ini kepada mereka.
Mama juga mendekat kepadaku dan aku tidak tahu sejak
kapan tangisan rasa bersalah dan pilu itu terdengar oleh pendengaranku. Seolah
itu pertanda jika apa yang aku pikirkan sekarang adalah sebuah hal benar adanya
dan tak dapat dibantah oleh kata – kata manis sekalipun.
“Maafkan Papa, Denis.” Lirih, sangat lirih terdengar
olehku, tetapi apa mereka tahu aku lebih lirih lagi sampai tak ada kata yang
dapat kuucap seakan energi dalam tubuh ini habis dan tiak cukup untuk membuka
sedikir bibir untuk membalas.
“Boleh Mama peluk Denis?” tanyanya dengan nada ragu
dan tangisannya masih terdengar pilu. Aku hanya sesekali memandanganya dan
teralihkan kepada Paman Arie bersama Kak Hana. Lagi – lagi aku tidak membalas
dan tidak begerak sedikitpun, tidak melakuakan perlawanan atau mengiyakan pada
setiap ucapan kedua orang di hadapanku ini.
“Apakah selama ini aku sendiri?” dengan seluruh
kekuatan yang tersisa kuucapkan sedikit kalimat yang semakin memperjelas
kondisiku selama ini. Berapa tahun? Apakah sejak aku terlahir di dunia ini aku
sudah sendiri dan kebersamaan yang kubanggakan selama ini adalah hanya hayalan
sepihakku?
“Papa bisa jelaskan, belum lama, Den. Baru tiga
tahun,”
Entah energi mana lagi yang menghampiriku sehingga
senyuman bisa terbit di wajah ini, walau senyuman pilu penuh kesakitan yang
tercetak jelas.
“Tiga tahun bukan waktu yang singkat ternyata, sampai
aku tidak pernah sadar akan semua
kebohongan ini?” Apa aku terlalu cerdas dalam
menghadapi masalah ini, bukankah seharusnya kini aku meraung – raung menangis
di depan mereka sebagai tanda penjelas jika hati ini sakit, jiwa ini hancur dan
jika mereka lupa aku adalah anak berusia 12 tahun yang sudah merasakan hal
sepilu ini, terbilang masih sangat muda? Tidak bahkan aku ini masih anak kecil.
“Apakah Kak Hana adalah anak kandungmu?” tanyaku
kepada wanita yang masih saja menangis di sampingku. Dia tidak bersuara hanya
menganggukkan kepalanya bertanda memang benar adanya. Apakah definisi anak
kecil mudah dibohongi itu kualami selama ini? Ternyata aku tidak sepintar itu,
yang memang sudah menyadari Kak Hana mirip dengan Mama dan Bibi Sofa yang
terlihat sangat akrab dan cocok dengan Papa.
“Tidak perlu dijelaskan, Ma, Pa. Aku tahu apa yang
kalian lakukan selama ini adalah hal terbaik untukku, jika tidak seperti ini
mungkin aku bukan diriku yang sekarang. Tetap berpandangan positif dan bahkan
aku masih sangat mencintai Mama dan Papa sampai saat ini, walau pada
kenyataanya selama ini aku hidup sendiri.”
Walau hati ini tercabik hancur saat mengetahu
kebenaran yang selama ini ditutupi dengan rapih di hadapanku, aku tetap bangga
dengan Mama dan Papa, menyembunyikan kondisi perceraian mereka selama tiga
tahun ini hanya untuk menjagaku dan melindungiku, bukankah itu hal yang sulit
dilakukan. Dan teruntuk Paman Arie begitu juga Bibi Sofa yang mungkin selama
ini sudah berkorban sebesar ini hanya untukku? Hal ini memang membuatku menajadi
pribadi yang dewasa, walau cobaan seberat ini sudah kualami dengan umur sedini
ini. Aku sadar permaslaahan keluarga memang dapat mendewasakan pribadi
seseorang.
TAMAT
Kamis, 06 Oktober 2016
Di Yayasan Indonesia Tangguh
Abitri Negoro Hermanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar